Dinamika Politik Identitas dan Multikulturalisme di Indonesia
Setiap
negara pasti memiliki dimensi keejarahan identitas dan politik identitas
tersendiri, termasuk di negara Indonesia. Dewasa ini varian politik identitas
sudah tidak bisa dibaca dalam skala makro berupa relasi kuasa dan masyarakat,
melainkan juga berupa dialektika dan interaksi yang terjadi dalam masyarakat
itu sendiri. Menurut Husniyatus Salamah, hanya ada dua living convlict yang
biasa terjadi di Indonesia, yakni pertama terkait paham ideologis agama dan
nasionalisme, dan kedua terkait konflik etnisitas penguasa ekonomi di
Indonesia.
Living
religious issues sering kali dijadikan sebagai strategi pemenangan utama dalam
kontestasi politik baik tingkat pusat maupun tingkat lokal. Hal tersebut
dikarenakan pemahaman mengenai agama bisa mematahkan rasionalitas etnis yang
dipegang oleh pemilih pada saat menentukan pilihan politiknya.
Pasca
reformasi politik identitas keberagamaan dibangun sebagai wujud yang hidup
untuk membangun masyarakat. Tetapi realitanya pasca reformasi politik identitas
nasional meredup, karena secara tidak langsung demokratisasi liberal mulai dijalankan
di Indonesia. Hal terebut ditunjukan dengan adanya kecenderungan kembalinya corak
pemikiran islam konservatif di Indonesia.
Pada
tahun 2013, Martin Van Bruinessen, dalam bukunya yang berjudul “Islamic
Conservative Turn” (kembalinya gerakan Islam konservatif di Indonesia) ia
menjelaskan bagaimana Islam kembali menjadi ruang kontestasi politik, diskursus
publik yang mempengaruhi persepsi masyarakat Islam, sertamengenai plitik
keberpihakan pada idntitas tertentu. Dalam buku tersebut terdapat empat kerangka
penting. Pertama, pembacaan terhadap Majelis Ulama Indonesia dalam konteks
otoritas keberagamaan yang banyak menggunaan legitimasi Majelis Ulama Indonesia
dalam berbagai kontestasi politik di Indonesia.
Kedua, pembacaan terhadap aderisasi dan proyeksi gerakan untuk membangun
negara Islam. Ketiga, transnasional linkage gerakan-gerakan radikal di
Indoneia.Keempat, memudarnya peran kelompok moderat di dalam ruang publik.
Living
conflict yang trjadi di Indonesia selalu memberikan asumsi adanya kegagapan
kebijakan pemerintah dalam mengatasi identitas keberagamaan, serta semakin menunjukkan
adanya kekhawatiran akan kalahnya
identitas-autentik masyarakat islam Indonesia.
Kontestasi
politik identitas berbasis keberagamaan akan berdampak buruk bagi kerukunan
umat beragama di Indonesia. Sebagai jalan keluar dari permasalah tersebut
terdapat beberapa hal yang dapat diterapkan, pertama setiap elit politik
hendaknya memiliki tingkat kecerdasan, sensitivitas, dan sensibilitas budaya
terhadap berbagai isu sosial yang terjadi. Kedua untuk memperkuat rasionalitas
pubik, perlu diberikannya edukasi kepada
masyarakat mengenai cara ideal dalam merespons setiap sensitive issues (SARA)
yang terjadi di ruang publik. Ketiga, semua elemen bangsa terutama para elit
politik harus lebih berperan aktif-partisipatif dalam mengkaji dan mengtasi
persoalan politik identitas yang terjadi di Indonesia.
Mengutip
dari isi pidato ilmiah Syafi’i Maarif, “politik identitas sejatinya tidak akan
merusak apabila penghayatan terhadap identitas universal ke-Indonesiaan tidak
diletakan pada ruang pragmatisme dan di awang-awang. Nilai identitas univesal
dihayati sebagai sikap kolektif yang dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun sebaliknya akan sangat berbahaya apabila pemaksaan atas nama identitas
tertentu dibiarkan oeh mereka yang memiliki tanggung jawab menjaga dan
memelihara universalitas identitas-plural yang ada di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar