Jumat, 07 Mei 2021

Hubungan Pusat dan Daerah

Relasi Politik Lokal Terhadap Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah DiIndonesia Pasca Reformasi

Terhitung sejak tahun 1999, Indonesia mencatatkan sejarah baru dengan memasuki era desentralisasi yang sesungguhnya pasca tergulingnya roda pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dengan adanya kebijakan desentralisasi tersebut membuka peluang politik lokal untuk mewujudkan kemandirian daerah. Di satu sisi desentralisasi telah memberikan ruang yang luas untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis, tapi sisi lain lahirnya kebijakan tersebut menciptakan euphoria di kalangan putera-putera daerah dalam pemindahan kekuasaan dari pusat ke daerah yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi elit-elit politik di tingkat daerah. Selain itu, tidak sedikit daerah yang memiliki sumber daya alam yang kuat atau melimpah berencana memisahklan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Langkah-langkah strategis yang dilaksanakan oleh presiden Habibie seperti memberikan kebebasan terhadap pers, kebebasan mendirikan partai politik, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur, merupakan upaya untuk mewujudkan desentralisasi dan mewujudkan negara yang demokratis. Tetapi di sisi lain kebijakan tersebut telah membentuk dasar-dasar administratif pemerintahan desentralisasi yang memilliki banyak kelemahan. Menurut Michael Malley (2004), aturan mengenai pemerintahan daerah tersebut mengandung kelemahan karena tidak mengikutsertakan masukan-masukan dari daerah. Dimana sekelompok elit tergesa-gesa melahirkan model desentralisasi ala Barat. Konsep desentalisasi memang dirancang atas pemikiran-pemikiran Barat  yang sangat ingin menerapkan konsep pemikiran tersebut pada negara-negara berkembang. Sehingga ketika model tersebut diterapkan di Indonesia, banyak institusi-institusi internasional berlomba-lomba menggelontorkan bantuannya bagi keniscayaan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tanpa memperhatikan sendi-sendi kelembagaan di Indonesia yang sama sekali lemah dan tidak demokratis (Ratri Istania, 2009).

Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dibentuk sebagai upaya untuk menciptakan pemerintahan daerah yang lebih responsif kepada kepentingan rakyat, serta memberikan ruang yang lebih transfaran agar tercapainya devolusi kekuasaan. Peran pemerintah hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa tanggung jawab setelah menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan keamanan nasional, kebijakan luar negeri, masalah-masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan agama. Derah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan,pertanian, perhubungan, industri, perdagaangan, investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja, dan tanah (Ray dan Goodpaster, 2003).

Di masa pemerintahan presiden Megawati, permasalahan-permasalahan desentralisasi semakin timbul ke permukaan dengan adanya bantuan liputan oleh berbagai media. Permasalahan seperti kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan janji kepada konstituennya, serta wakil rakyat yang hanya mementingkan perut sendiri atau korupsi, menstimulus pemrintah untuk melahirkan undang-undang penangkal, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut Malley (2004), pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen undang-undang yuang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Dalam konteks otonomi ini daerah telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan nasional. Otonomi daerah menurut undang-undang adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Di bawah kekuasaan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perkembangan desentralisasi pemerintahan di Indonesia diwarnai oleh kebijakan desentralisasi yang dinamai pemekaran. Pemekaran merupakan nama yang dipergunakan dalam proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administrasi baru di dalam provinsi-provinsi atau distrik-distrik yang sudah ada sebelumnya. Konsep tersebut hampir sama dengan sistem redistricting di Amerika Serikat yang berarti pembentukan kembali distrik-distrik. Adanya kebijakan pemekaran tersebut tentunya meningkatkan jumlah kabupaten atau kota di Indonesia sebagai konsekuensinya, yang akan berbanding lurus dengan munculnya pemimpin atau elit baru. Selain itu, konsep pemekaran akan berdampak pada pembagian pengelolaan sumber daya alam. Kondisi tersebut pada beberapa kasus menciptakan singgungan antar daerah karena adanya permasalahan pembagian sumber daya alam atau pun permasalahan mengenai batas daerah.

Pada perkembangannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004  telah mengalami beberapa perbaikan, khususnya mengenai judicial review yang akhirnya membolehkan calon-calon independen untuk ikut berkompetisi dalam kontestasi politik tingkat lokal. dengan kondisi tersebut diasumsikan bahwa dalam upaya mencari pemimpin yang benar-benar memperhatikan kehendak masyarakat akan lebih mudah diwujudkan. selain itu, dengan adanya kondisi tersebut struktur partai politik sebagai institusi yang menghegemoni pelaksanaan pemilihan umum mendapat tantangan positif dengan munculnya calon-calon idenpenden yang diusung dari kalangan masyarakat. Akan tetapi hingga kini keaadan tersebut belum dapat memberikan dampak yang berarti, karena adanya dominasi peran parpol nasional serta kekuatan finansial calon pemimpin daerah masih sangat kuat dalam mempengaruhi pelaksanaan kontestasi politik tingkat lokal.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, desentralisasi dalam konteks otonomi daerah dimanifestasikan dalam bentuk adanya pemberian kewenangan-kewenangan, tanggung jawab, dan keuangan (fiskal). desentralisasi keuangan diwujudkan dengan menata kembali perimbangan keuangan dan juga memberikan kewenangan pada daerah untuk menggali dan membelanjakan sumber-sumber keuangan daerah.

Perkembangan otonomi daerah pada hakikatnya memberikan ruang yang luas pada masyarakat untuk dapat lebih berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. selain itu, berkembangnya otonomi daerah memberikan ruang dan media yang lebih besar bagi upaya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, kehidupan yang demokratis, serta keharmonisan hubungan pusat dan daerah, dimana indikator tersebut merupakan tolak ukur bagi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah.

Pemerintahan Daerah yang efektif lahir dari suatu sistem politik yang berkembang pada tingkat lokal dalam kerangka sistem politik nasional yang baik. Secara faktual era reformasi telah memberikan istrumen melalui adanya regulasi yang memberikan ruh dan menjadikan dinamisnya praktek-praktek politik dan demokrasi. dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu bukti fasilitasi pemerintah terhadap amanah kepentingan masyarakat. Dengan lahirnya otonomi daerah atau desentralisasi kekuasaan, institusi-institusi politik tidak lagi memiliki kekuasaan yang besar untuk melahirkan kepemimpinan yang otoritarian. Institasi-instansi politik harus mampu mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat, agar terciptanya legitimasi yang tinggi dari masyarakat terhadap instansi tersebut.

Politik lokal pada era reformasi mendapatkan ruang gerak yang lebih luas, hal tersebut disebabkan oleh adanya implementasi desentralisasi yang pada hakikatnya merupakan politik pemberdayaan daerah dengan mengafirmasi keberagaman dan potensi daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung meskipun secara faktual masih dipengaruhi oleh peran partai politiik nasional, tetapi secara keseluruhan telah meningkatkan partisipasi politik masyarakat.

Adanya ruang demokrasi yang lebih luas dan meningkatnya partisipasi masyarakat, menstimulus terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efektif. Selain itu politik lokal telah berkembang dan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, sehingga beberapa dinamika tersebut telah membentuk trend yang posistif. Tetapi perkembangan tersebut masih menyisakan kelemahan-kelemahan seperti banyaknya peraturan atau kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang saling bertumpang tindih atau bahkan bertentangan, masih terdapatnya kesenjangan antar daerah, serta rendahnya pengawasan yang menyebabkan rentannya terjadinya praktik penyalahgunaan kekuasaan tingkat daerah. Oleh sebab itu, pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka desentralisasi harus dicermati kembali dan dilakukan perbaikan yang mampu memprediksi permasalahan-permasalahan yang akan muncul dalam proses bergulirnya kebijakan tersebut, agar kebijakan tersebut dapat mewujudkan politik lokal serta penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efektif.

 

Daftar Pustaka:

Gie, The L. 1989. Kumpulan Pembahasan Terhadap Undang-undang Tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Daerah Indonesia. Yogyakarta: Karya Kencana.

Kaho, Joseph R. 2001. Prospek Otonomi Derah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Raja

Grapindo Persada.

Istania, Ratri. 2009. Dinamika Politik Lokal: Bahan Kuliah. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu

Administrasi Lembaga Administrasi Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Politik Identitas dan Multikulturalisme

Dinamika Politik Identitas dan Multikulturalisme di Indonesia Setiap negara pasti memiliki dimensi keejarahan identitas dan politik identi...