Relasi Politik Lokal Terhadap Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah DiIndonesia Pasca Reformasi
Terhitung sejak tahun 1999, Indonesia mencatatkan
sejarah baru dengan memasuki era desentralisasi
yang sesungguhnya pasca tergulingnya roda pemerintahan Orde Baru di bawah
kepemimpinan presiden Soeharto. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, dengan adanya kebijakan desentralisasi tersebut
membuka peluang politik lokal untuk mewujudkan kemandirian daerah. Di satu sisi
desentralisasi telah memberikan ruang yang luas untuk mewujudkan kehidupan yang
demokratis, tapi sisi lain lahirnya kebijakan tersebut menciptakan euphoria di kalangan putera-putera
daerah dalam pemindahan kekuasaan dari pusat ke daerah yang memberikan kesempatan
kepada mereka untuk menjadi elit-elit politik di tingkat daerah. Selain itu,
tidak sedikit daerah yang memiliki sumber daya alam yang kuat atau melimpah
berencana memisahklan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Langkah-langkah strategis
yang dilaksanakan oleh presiden Habibie seperti memberikan kebebasan terhadap
pers, kebebasan mendirikan partai politik, dan pemberian referendum bagi masyarakat Timor Timur, merupakan upaya untuk
mewujudkan desentralisasi dan mewujudkan negara yang demokratis. Tetapi di sisi
lain kebijakan tersebut telah membentuk dasar-dasar administratif pemerintahan
desentralisasi yang memilliki banyak kelemahan. Menurut Michael Malley (2004),
aturan mengenai pemerintahan daerah tersebut mengandung kelemahan karena tidak
mengikutsertakan masukan-masukan dari daerah. Dimana sekelompok elit
tergesa-gesa melahirkan model desentralisasi ala Barat. Konsep desentalisasi
memang dirancang atas pemikiran-pemikiran Barat
yang sangat ingin menerapkan konsep pemikiran tersebut pada negara-negara
berkembang. Sehingga ketika model tersebut diterapkan di Indonesia, banyak
institusi-institusi internasional berlomba-lomba menggelontorkan bantuannya
bagi keniscayaan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tanpa memperhatikan
sendi-sendi kelembagaan di Indonesia yang sama sekali lemah dan tidak
demokratis (Ratri Istania, 2009).
Pada prinsipnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
dibentuk sebagai upaya untuk menciptakan pemerintahan daerah yang lebih responsif kepada kepentingan rakyat,
serta memberikan ruang yang lebih transfaran agar tercapainya devolusi kekuasaan. Peran pemerintah
hanyalah terbatas sebagai penjaga malam saja karena sisa tanggung jawab setelah
menjadi urusan daerah adalah meliputi: pertahanan keamanan nasional, kebijakan
luar negeri, masalah-masalah fiskal
dan moneter, perencanaan ekonomi makro, sumber-sumber alam, kehakiman, dan
agama. Derah memiliki kewenangan mengurus pekerjaan umum, pendidikan dan
kebudayaan, pemeliharaan kesehatan,pertanian, perhubungan, industri,
perdagaangan, investasi, masalah-masalah lingkungan, koperasi, tenaga kerja,
dan tanah (Ray dan Goodpaster, 2003).
Di masa pemerintahan presiden Megawati,
permasalahan-permasalahan desentralisasi semakin timbul ke permukaan dengan
adanya bantuan liputan oleh berbagai media. Permasalahan seperti kepala daerah
yang memainkan politik uang ketimbang melaksanakan janji kepada konstituennya,
serta wakil rakyat yang hanya mementingkan perut sendiri atau korupsi,
menstimulus pemrintah untuk melahirkan undang-undang penangkal, yaitu
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Menurut
Malley (2004), pemerintahan Megawati bukanlah mengamandemen undang-undang yuang
ada, tetapi malah menggantinya sama sekali. Dalam konteks otonomi ini daerah
telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan nasional. Otonomi daerah menurut
undang-undang adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di bawah kekuasaan presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
perkembangan desentralisasi pemerintahan di Indonesia diwarnai oleh kebijakan desentralisasi
yang dinamai pemekaran. Pemekaran
merupakan nama yang dipergunakan dalam proses desentralisasi yang menciptakan
unit-unit administrasi baru di dalam provinsi-provinsi atau distrik-distrik
yang sudah ada sebelumnya. Konsep tersebut hampir sama dengan sistem redistricting
di Amerika Serikat yang berarti pembentukan kembali distrik-distrik. Adanya
kebijakan pemekaran tersebut tentunya meningkatkan jumlah kabupaten atau kota
di Indonesia sebagai konsekuensinya, yang akan berbanding lurus dengan
munculnya pemimpin atau elit baru. Selain itu, konsep pemekaran akan berdampak
pada pembagian pengelolaan sumber daya alam. Kondisi tersebut pada beberapa
kasus menciptakan singgungan antar daerah karena adanya permasalahan pembagian
sumber daya alam atau pun permasalahan mengenai batas daerah.
Pada perkembangannya Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 telah mengalami beberapa perbaikan,
khususnya mengenai judicial review
yang akhirnya membolehkan calon-calon independen untuk ikut berkompetisi dalam
kontestasi politik tingkat lokal. dengan kondisi tersebut diasumsikan bahwa
dalam upaya mencari pemimpin yang benar-benar memperhatikan kehendak masyarakat
akan lebih mudah diwujudkan. selain itu, dengan adanya kondisi tersebut
struktur partai politik sebagai institusi yang menghegemoni pelaksanaan pemilihan
umum mendapat tantangan positif dengan munculnya calon-calon idenpenden yang diusung dari kalangan
masyarakat. Akan tetapi hingga kini keaadan tersebut belum dapat memberikan
dampak yang berarti, karena adanya dominasi peran parpol nasional serta
kekuatan finansial calon pemimpin daerah masih sangat kuat dalam mempengaruhi
pelaksanaan kontestasi politik tingkat lokal.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, desentralisasi dalam konteks otonomi
daerah dimanifestasikan dalam bentuk adanya pemberian kewenangan-kewenangan,
tanggung jawab, dan keuangan (fiskal). desentralisasi
keuangan diwujudkan dengan menata kembali perimbangan keuangan dan juga
memberikan kewenangan pada daerah untuk menggali dan membelanjakan
sumber-sumber keuangan daerah.
Perkembangan otonomi daerah pada hakikatnya memberikan
ruang yang luas pada masyarakat untuk dapat lebih berperan aktif dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai
kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. selain itu, berkembangnya
otonomi daerah memberikan ruang dan media yang lebih besar bagi upaya
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, kehidupan yang demokratis,
serta keharmonisan hubungan pusat dan daerah, dimana indikator tersebut
merupakan tolak ukur bagi efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah.
Pemerintahan Daerah yang efektif lahir dari suatu
sistem politik yang berkembang pada tingkat lokal dalam kerangka sistem politik
nasional yang baik. Secara faktual
era reformasi telah memberikan istrumen
melalui adanya regulasi yang
memberikan ruh dan menjadikan dinamisnya praktek-praktek politik dan demokrasi.
dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu
bukti fasilitasi pemerintah terhadap
amanah kepentingan masyarakat. Dengan lahirnya otonomi daerah atau
desentralisasi kekuasaan, institusi-institusi politik tidak lagi memiliki
kekuasaan yang besar untuk melahirkan kepemimpinan yang otoritarian. Institasi-instansi politik harus mampu mengagregasikan
dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat, agar terciptanya legitimasi yang
tinggi dari masyarakat terhadap instansi tersebut.
Politik lokal pada era reformasi mendapatkan ruang
gerak yang lebih luas, hal tersebut disebabkan oleh adanya implementasi
desentralisasi yang pada hakikatnya merupakan politik pemberdayaan daerah
dengan mengafirmasi keberagaman dan potensi daerah. Pemilihan kepala daerah
secara langsung meskipun secara faktual masih dipengaruhi oleh peran partai
politiik nasional, tetapi secara keseluruhan telah meningkatkan partisipasi
politik masyarakat.
Adanya ruang demokrasi yang lebih luas dan meningkatnya
partisipasi masyarakat, menstimulus terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang lebih efektif. Selain itu politik lokal telah berkembang dan memberikan
pendidikan politik bagi masyarakat, sehingga beberapa dinamika tersebut telah
membentuk trend yang posistif. Tetapi perkembangan tersebut masih menyisakan
kelemahan-kelemahan seperti banyaknya peraturan atau kebijakan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah yang saling bertumpang tindih atau bahkan bertentangan,
masih terdapatnya kesenjangan antar daerah, serta rendahnya pengawasan yang
menyebabkan rentannya terjadinya praktik penyalahgunaan kekuasaan tingkat
daerah. Oleh sebab itu, pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka desentralisasi harus
dicermati kembali dan dilakukan perbaikan yang mampu memprediksi
permasalahan-permasalahan yang akan muncul dalam proses bergulirnya kebijakan
tersebut, agar kebijakan tersebut dapat mewujudkan politik lokal serta
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efektif.
Daftar Pustaka:
Gie,
The L. 1989. Kumpulan Pembahasan Terhadap
Undang-undang Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan
Daerah Indonesia. Yogyakarta: Karya
Kencana.
Kaho,
Joseph R. 2001. Prospek Otonomi Derah di
Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada.
Istania,
Ratri. 2009. Dinamika Politik Lokal:
Bahan Kuliah. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Administrasi Lembaga Administrasi Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar